wadah fiksi, mimpi, dan imajinasi [saya dan mereka]. saat realitas, cukup menjemukan dan serba terbatas

Conversation part 5

/ /
image: Conversation by Aditya Wijanarko


Aresh: I never think..never consider myself as a cynical person
Athena: True..
Aresh: Thanks (smiling)
Athena: …you never think.
Aresh: Are you being sarcastic?
Athena:  Now you’re wrong… You finally think. You just did.

Conversation part 4

/ /
image: Conversation by Aditya Wijanarko


Aresh: I want to die
Athena: Why? You have a perfect life
Aresh: That’s why… I’m bored

Conversation part 3

/ /
 image: Conversation by Aditya Wijanarko

Aresh: We could be like… Gaiman and Amos
Athena: Huh? It means we’ll never have sex?
Aresh: Huh? How could you be so sure that they never had sex?

Conversation part 2

/ /
image: conversation by aditya wijanarko


Athena: What do you think about her?
Aresh: Well.. She’s cute, she’s smart, she’s funny.. But..
Athena: ..what?
Aresh: ..fat..
Athena: Oh, that’s rude!
Aresh: yeah, but that’s the truth..

Conversation part 1

/ /
 image: conversation by aditya wijanarko


(on the phone)

Aresh: Please come, I can’t paint. Bring your cello. Play it while I do my paintings.
Athena:  You have my video
Aresh: Those aren’t you. I need your existence. You have to come!
Athena: I’m not your toy or slave.. Don’t tell me to come whenever you want me to..
Aresh: But you love me. You’ll come..

Tentang Mimpi [Pada Suatu Ketika]

/ /
tak semua mimpi adalah pertanda,
bunda bersabda
[pada suatu ketika]

kadang ia adalah remah realita yang dicacah cerna
atau lekuk rasa yang coba diraba
atau bisikan mambang kala kelam berjingkat, semacam mantra rahasia

dan jiwa, oh jiwa lah penerjemah multi bahasa,
segala aksara..
ujar bunda

entah yang mana;
mungkin pertanda
mungkin realita
mungkin rasa
bisa jadi sang mantra..

satu atau semua beringsut menjelma

menjelma cakrawala penebas biru dan biru
menjelma pasir putih
menjelma semilir angin
menjelma camar
menjelma kabut
menjelma kamu, ia, mereka..

yang tiada,
saat pelupuk membuka

Jakarta//11.2010


image: salvador dali - the dream

Senja Untuk Langit

/ /
“Senja saja, sepotong, setiap hari,” jawab Langit sambil tersenyum dengan mata terus menatap cakrawala di belahan Barat.
“Too much SGA* , eh?” balas Libra.
Langit menoleh, tersenyum lalu mereguk kopi. Kemudian kembali menikmati senja.
Sebelumnya Libra bertanya perihal oleh-oleh. Ada penugasan ke Italia selama 3 bulan. Besok malam ia berangkat. Sore itu, sepulangnya dari kantor, ia mampir ke rumah Langit. Ia menuju atap, tempat Langit habiskan waktu menikmati secangkir minuman dan fenomena alam favorit; kopi dan senja.
“Kamu lihat senja hampir tiap hari, Ngit. Enggak bosan?” Libra kembali bertanya.
“Mau bawain enggak? Kalau enggak mau, ya enggak usah. Enggak apa-apa juga, kok,” jawab Langit, masih sambil tersenyum.
Libra menatap lekat wajah yang kini tertempa sinar emas dari ufuk Barat. Jauh di dalam hati ia tahu perempuan itu tidak akan pernah bosan dengan senja. “Penanda manusia harus rehat dari aktivitas. Pulang ke tempat nyaman berisi orang terkasih yang disebut rumah, menjadi tenang. Tapi bagi workaholic seperti kamu, sepertinya akan lebih mudah bilang, ‘karena senja indah’. Ya, lebih mudah begitu,” celoteh Langit suatu hari, ketika ditanya apa yang membuatnya jatuh hati saat Matahari perlahan tenggelam dan bersinar di sisi lain bumi.

Langit hampir menangis karena bahagia yang meluap. Itu ciuman pertamanya dengan Libra, setelah empat tahun menunggu. Menjadi pendengar setia petualangan jatuh cinta-patah hati-hubungan tanpa status-putus nyambung Libra dengan perempuan-perempuan lain. Ciuman itu lembut, hangat, di bawah naungan senja. Langit bisa merasakan gairah itu. Ia menarik Libra ke kamar tidurnya. Melucuti pakaiannya satu-persatu. Libra pun melakukan hal serupa. Persetubuhan itu nyaris terjadi andai saja ponsel Libra tidak berbunyi dan tak diacuhkan. Tujuh tahun lalu, mereka hampir bercinta. Tujuh tahun lalu, Libra mengurut-urut kening saat mendengarkan lawan bicaranya di telepon, lalu berpakaian dan pergi meninggalkan Langit secara tergesa. Dan esoknya, ia minta Langit tidak membahas tentang percumbuan mereka berdua. “Lebih baik bersahabat saja,” ucap Libra.
Dua bulan kemudian, Langit menatap nanar undangan pernikahan Libra. Lima bulan kemudian, anak Libra lahir. Dan senja sangat merah, seperti luka yang mengumbar darah.

Ada seratus foto senja di album itu. Dipotret dari hari pertama Libra menginjakkan kaki di Italia, sampai terakhir kali ia bermalam di sana. Semua untuk Langit. Perempuan yang begitu mencintai senja. Perempuan yang ia cintai jauh sebelum mereka bercumbu, tujuh tahun lalu. Sosok baik hati, anggun nan cerdas yang membuatnya kagum. Kagum yang membuatnya rendah diri dan menahan semua rasa.
“Thanks..Oleh-olehnya bagus..” ucap Langit usai membalik halaman terakhir. Ada bulir bening di sudut kedua matanya. Ia mengerjap. Tetes pertama jatuh. Merah-kuning di langit sudah hilang. Giliran lembayung yang terbentang, warnanya seperti ruam.

Paket itu baru saja Libra terima. Berisi sepucuk surat dan sebuah album foto. Dari Langit. Dadanya berdebar kencang. Ia baca baris aksara pada selembar kertas itu.

Dear Libra,
Aku pergi. Maaf pamit dengan cara seperti ini. Maaf juga aku baru cerita bahwa promosi dari kantor membuatku meninggalkan negeri ini, entah sampai kapan. Jangan mencoba menghubungiku, tolong. Lebih mudah menghilangkan sakit ini jika kita tidak berkomunikasi. Lebih mudah untukku jika percaya kamu tidak lagi peduli. Kamu tahu yang aku maksud. Tatap potongan senja-senja itu lamat-lamat. Kamu akan benar-benar tahu kenapa aku begitu menyukai masa sebelum langit berganti pekat. Ada teduh di hening itu. Seperti ketika aku bersamamu. Terdiam tanpa kata. Nyaman yang menjalar. Tapi kamu selalu muncul sesaat. Seperti senja. Indah keemasan, lalu merah, lalu lembayung. Kemudian hitam. Lalu aku akan sendirian menunggu dalam kelam. Sampai esok hari ketika aku menunggu untuk menyaksikan repetisi yang sudah bisa ku prediksi. Karena seperti senja. Ketika kamu hilang, kamu menjelma fajar yang menyingsing di tanah yang lain. Di rumahmu, untuk istrimu, juga anakmu. Ini untukmu Libra. Potret dirimu dalam persepsiku yang kamu rekam sendiri. Tiap potongan senja sudah kuingat. Senja yang tidak bisa ku miliki. Karena senja itu kamu.

Langit

Senja sudah lewat, begitu juga lembayung. Kini, langit kelam. Sesal pun rembes bersama isak, lalui celah antara jari-jari Libra yang menutupi wajah.



- Jakarta, Oktober 2010-
---------------------------------------------

*Seno Gumira Ajidarma. Penulis yang sering menorehkan senja di tulisan-tulisannya. Seorang teman baik pernah berkata mungkin saya menyukai senja karena diulas oleh SGA, salah satu penulis favorit saya. Menurut saya justru sebaliknya. Saya menyukai SGA karena ia juga mengulas senja – selain karena tulisannya yang brilian, tentu.

SETAJAM LAYUNG SENJA

/ /
Setajam layung senja:
Lorong-lorong ini pun juga
Bergetar antara pucuk, antara gerak samar cemara

Dan segala pasti menunggu, jalanan malam Minggu
Dan segala pasti menunggu: jaga akhir hari yang lesu

Sebab yang melangkah ke malam bukan hanya pengembara
Sebab yang terbungkuk di ranjang bukan hidup sia-sia
Kepada kaca pun kita sanggup berbisik

Sepanjang senja yang lenyap:
detik demi detik

-goenawan mohammad, 1961-

---------------------------------------------------

salah satu puisi favorit saya :)

KECUALI RASA

/ /
“Oh my.. Me too..” ucap laki-laki itu ketika sang perempuan menyebut dua judul lagu terfavorit dari sebuah band asal Denmark.

Hanya satu kalimat.
Empat patah kata.
Dan si perempuan terserang euphoria.

Tangannya dingin dan ia tersenyum. Kemudian ingat mengapa ia selalu merasa nyaman saat berbincang dengan sosok yang kadang begitu membuka diri dan dekat, namun kadang membuat sekat.

Sudah lama mereka tak bersua. Tak berbagi cerita. Sang laki-laki menghilang dan si perempuan tahu sia-sia saja ia mencari. Toh memang begitulah si laki-laki. Datang dan pergi sesuka hati. Membuat janji kemudian mengingkari. Dan perempuan juga tahu, hati memang lancang. Menjatuhkan diri di tempat-tempat yang salah. Padahal logika sudah memberi berbagai wejangan, petuah, nasehat, dan padanan kata lainnya. Intinya sama; tempat itu bisa menimbulkan luka. Luka kecil yang kadang lama sembuh. Luka yang kadang dianggap sudah sembuh, padahal masih sisakan perih.

Namun si perempuan juga tahu tentang rindu. Tentang hal-hal yang membuat mereka berbincang berjam-jam kala banyak orang terlelap. Tentang buku-buku berisi kisah menarik. Tentang alunan nada yang seharusnya didengar. Tentang film-film yang tak akan pernah membuat bosan. Tentang rutinitas yang menjemukan. Tentang impian yang kadang terlampau absurd. Tentang banyak kesamaan.
Kecuali rasa..


Dari satu untuk yang lainnya…

10.02.2010 // 00:54

BUMI PARA PERI

/ /
Bukan bintang dan hitam langit, melainkan remang fajar, yang mengiringi perjalananku ke dunia mimpi; kali terakhir. Di sana kutemui ragamu.Terduduk.Dengan raut tersembunyi lengan dan kaki terlipat.Menunduk.Bersedekap.Menggigil.Karena cuaca seperti mau beku; dugaku.Namun kemudian aku tahu, getar tubuhmu tak sebab angin yang berhembus lalui alam bunga tidur.Dingin itu bercokol di dadamu, di jiwamu..

Kau lelah.Mencari rupa yang sempat kau akrabi.
Kau lelah.Sendiri.
Kau lelah.Tak jua hempas sepi.
Kau lelah.Menyimpan puisi-puisi
[Telah penuh laci-laci puji]

Menangis tanpa air mata,
kau bisa.
Kau tampak sudah biasa.
Aku dengar.Aku lihat
Hanya isak yang menyayat
Benar-benar menyayat.
Bahkan kabut ikut memucat meniru mayat.
Pilumu mematung..

.................................................................

Pagi titahkan pelupuk agar bosan terpejam.Hari yang sama.Dua dunia yang berbeda; terpisah secarik tirai tipis kesadaran.Kucoba memanggil nyawa-nyawa.Untuk yakinkan diri bahwa aku sepenuhnya telah terjaga.Aku yakin aku telah terjaga.Karena sosokmu yang memeluk diri sendiri tak lagi ada.Kucoba singkap tanya, "sudahkah kau terjaga?"
Karena aku takut.Sungguh takut.Kau lalu lalang di dunia nyata menyeret bongkahan nestapa..Dari bumi para peri..

jatinanor//25.05.2006

Kota Dalam Kota

/ /
Mengenang Kota dalam kota :
Aroma lumut di dinding-dinding bangunan lama,
Rona abu di jalan-jalan tua,
Lampu-lampu yang beri terang kala malam dipajang,
Lumpur sungai besar yang tercampur benda-benda terbuang,
Dan kau..
Yang mengacak kata hingga membata

Kota..
Peti mimpi ku yang mengada-ada..

Bandung, 24.09.2006

----------------------------------------------------------

really love Kota Tua..

Sometimes I just go there by myself, walking around, watching people, buy a cup of coffee, and then wait for the dusk. Haven’t got time to do that again, lately.. Maybe I’ll go there this weekend. Wanna join?

KUMPULAN SENJA

/ /

Pemuja Senja

Muram senja yang kupuja
Berbagi rona di rupamu
Jangan umpat
Jangan gerutu kau pepat
Jika kau benci ia karena selintas lewat

Pejamkan saja pelupukmu
Hingga langit berganti pekat

Jatinangor, 20.04.2006
----------------------------------

Senja di Paras

Dan,
Langit masih berwelas asih
Menyisakan sedikit emas senja
Untukku,

Di parasmu

Jatinangor, 020706

----------------------------------

Muram Senja

Mungkin ada kisah yang perlu ditebas
Sebelum kidung baru terlantun bebas
Muram di senja, belum lepas....

Jatinangor, 23.03.2006

----------------------------------

tanpajudul

Ia bilang ia telah mengalami ribuan senja
Di tiap barat belahan bumi
Sebelum bulan merajai hari
"Tak ada yang seindah senja kali ini" ucapnya suatu waktu
Dengan mata tertuju parasku
Aku tersenyum, kecut
Tersembunyi aura berkabut
Itu dustanya yang keseribu kali
Lidahnya memang pandai menari
Tapi tidak saat senja hari itu memudar
Dan langit mulai menggantung lembayung
Ia tertunduk berkabung
Lalu mencium keningku lama-lama
Menghirup sisa senja yang masih terlekat di sana
Tak ada suara
Hanya sepi yang mengalun mesra
Malam pun datang dengan berjingkat
Menyaksikan aku dan ia saling memeluk tanpa sekat
Menangis bersama dalam raung yang tercekat
Menghujat senja yang telah mangkat

Jatinangor, 06.10.2005

----------------------------------

Nukleus

senja terbit, surya tenggelam
lelah ia, ingin rehat, persilahkan kelam
pun garis maya penebas langit-tanah
telah sesak kuning merah
aksara mengabur ulah temaram
titahkan lampu harus nyala

dalam nur elektrik malam jadi terang
namun pelupuk enggan mengatup
takut bayangmu menyeruak
rasuk
ke nukleus sukma,
menyusup
dan desir kembali meletup

jakarta, 28 april 2010

----------------------------------

sangat suka senja.. :)

Di Sini Kau Aman, Malaikat

/ /
Di sini kau aman, malaikat. Bebas berjabat tangan dengan dosa. Mengenal angkara. Mempelajari asa. Ssht,,jangan menangis. Sebentar lagi sayapmu habis ku kikis. Manusia memang rumit. Hanya melihat bulu-bulu putih nan halus milikmu saja mereka mengernyit. Pun dulu aku begitu. Ketika kau kali pertama hinggap di jendela. Ketika kau kali pertama tinggalkan surga.

Rehatlah sejenak, malaikat. Luka di punggungmu sebentar lagi mengering. Aku tak akan ke mana-mana. Lukaku masih menganga jua. Di hati, sebuah organ jiwa tak kasat mata. Kau menatapku tak mengerti. Ssht,,jangan bertanya. Pedih ini masih berjelaga. Tapi silahkan analisa. Inilah yang dinamakan air mata. Inilah hasil persetubuhan penat dan kecewa.

Di sini kau aman, malaikat. Kini. Entah nanti. Pasukan taman sejuta gembira belum mau menangkapmu, barangkali. Mungkin Tuhan ingin kau disini menemaniku. Mungkin Tuhan kirimkan dirimu untuk menjawab doaku, permohonan maafku. Atas repetisi ingkar, untuk ikrar-ikrar..Atau mungkin untuk tanyaku yang lain tentang kaki-kaki telanjang bocah-bocah kecil pengais sampah. Tentang ketidakadilan. Tentang kebebasan. Tentang apa saja..

Di sini kau aman, malaikat..

19.23 - 23.19

/ /
19.23
Asap putih itu sempat mengambang di udara. Bertahan sejenak antara mereka sebelum hilang terhempas angin. Dua teman lama. Berbeda kelamin. Tak terlalu karib. Cukup dekat. Sekedar cukup. Malam itu mereka bertatap muka. Berbicara. Tertawa. Semua biasa saja. Tak seperti dulu, bagi si perempuan. Dulu, semua lakon itu harta. Istimewa. Setiap detail membuat si perempuan bahagia. Meski semua euphoria disaluti ketidakjelasan ; sesuatu yang tak terselesaikan antara mereka.

20.33
Perempuan pemimpi itu menatap lekat rupa si laki-laki. Menerka-nerka apakah benar rasa itu telah tiada. Ia sedikit takut detak tak beraturan itu muncul lagi. Menyamar seolah-olah telah mangkat dari hati. Namun semuanya tenang. Telapak tangannya tak lagi terbalut dingin kalut. Tak ada lagi napas-napas panjang yang sengaja dihirup untuk mengatur desir asing yang dulu kerap bertandang. Perempuan itu tertunduk, bersyukur. Ternyata ia sanggup. Senyum tipis ia pasang saat kembali mengangkat kepala, memandang rupa lelaki sendu yang dulu kerap ia rindu.

20.33
Laki-laki itu ikut tersenyum. Ia duduk bersila di depan perempuan yang juga bersila. Mendengarkannya berceloteh tentang apa saja. Sesekali si laki-laki berdiri. Sesekali mondar-mandir, dengan mata tak lepas dari perempuan yang dulu pernah menawarkan rasa untuknya lewat canda ; yang buat dirinya tertunduk dalam ketidakmengertian.

23.19
Asap putih itu tak ada lagi. Pun rokok-rokok mereka telah habis terbakar. Terhisap, saja sisakan puntung-puntung. Dan mereka beranjak. Melangkah,,terpisah..

Nicholas Was..*

/ /



older than sin,
and his beard could grow no whiter.
He wanted to die.

The dwarfish natives of the Arctic caverns did not speak his language, but conversed in their own twittering tongue, conducted incomprehensible rituals, when they were not actually working in the factories.

Once every year they forced him,
sobbing and protesting,
into Endless Night.

During the journey he would stand near
every child in the world,
leave one of the dwarves' invinsible gifts by its bedside.
The children slept, frozen in time.

He envied Prometheus and Loki, Sisyphus and Judas.
His punishment was harsher.

Ho.
Ho.
Ho.





----------------------------------------------------------------

*taken from Neil Gaiman's 'Smoke and Mirrors'. Fakk lah orang ini. Twisted abis.. One of my favorite authors, ever!Haha...Bulan depan harus beli buku dia satu lagi :D

Kisah Singkat Tentang Kecupan Singkat

/ /
Kisah Singkat Tentang Kecupan Singkat

“Tak apa. Kita hanya kesepian,” ujarmu malam itu setelah kita melepas penat di ujung-ujung lidah kita. Tanganmu erat mendekap tubuhku. Terlalu erat. Awalnya pelukan itu laik terapi untuk tenangkan diriku. Namun desah nafasmu yang tak beraturan tampak seperti sesuatu yang rapuh dan takut rusak diterjang angin kencang yang berhembus membawa kesunyian. Ragaku tak ubahnya pancang yang sanggup buatmu bertahan. Berlembar foto masih menggantung. Baru usai dimandikan dalam cairan-cairan kimia yang timbulkan wujud-wujud. Bentuk-bentuk benda yang refleksinya dicuri kamera tuaku.

“Tak apa. Kita hanya kesepian,” katamu kemudian. Mengusap kepalaku. Berusaha menenangkan diriku yang terpekur tanpa kata. Lidahku serasa lupa bagaimana mengucap bahasa. Mungkinkah lidahmu telah curi semuanya kala berdansa dengan lidahku tadi? Sebuah kecupan ternyata sanggup suntikkan virus amnesia aksara. Kau menghisap udara dalam ruang temaram itu, lama dan panjang. Dadamu mengembang. Mengempis. Detak itu melambat. Tak lagi cepat. Tak lagi kalap.

“Tak apa. Kita hanya kesepian, “ ucapmu, lagi. Astaga! Repetisi yang membosankan! Aku lebih suka kau mengulangi keberanianmu menciumku, ketimbang membuatmu terlihat seperti radio yang memutar kaset rusak dengan kalimat itu!

“Ssht! Berhenti berbicara!” ujarku akhirnya. Lega. Terlebih setelah aku melepaskan diri dari rengkuhanmu. Kukayuh beberapa langkah menjauh dari sosokmu yang terlihat kebingungan. Kau menyandarkan punggung pada tembok di belakang tubuhmu. Mengambil nafas panjang dan memejamkan mata.

“Maaf. Aku sedikit mabuk sepertinya,” ucapmu berapologi. Aku terdiam. Enggan berkomentar. Enggan berpikir apakah aku seharusnya menyalahkan atau haturkan terima kasih pada minuman beralkohol yang kau reguk. Karena aku menikmati percumbuan singkat itu, entah untuk alasan apa. Mungkin juga aku sedikit mabuk. Hanya saja, tak sepertimu, tak setetespun minuman keras mengalir di kerongkonganku. Sebentuk memori tentang seseorang memrakarsai mabuk itu. Seseorang yang dulu sempat mengisi hatiku. Menjadikannya berbunga. Membuatnya melayang. Kemudian jatuh. Kemudian pecah. Kemudian seperti tempat pembuangan sampah.

“Maaf. Aku tak bermaksud kurang ajar,” kau berkata-kata lagi. Kepalamu menunduk. Kemudian kau mulai menggigit bibir sendiri. Cukup keras. Seperti hendak menghukumnya karena menyentuh bibirku beberapa menit yang lalu. Akupun ikut menggigit bibirku. Karena mempersilahkan bibirmu mencium bibirku.

“Maaf. Aku tak ingin pertemanan kita rusak, “ katamu. Aku masih bungkam. Bertanya-tanya dalam nurani tentang siapa yang sebenarnya patut dipersalahkan. Kau yang sedikit mabuk karena alkohol? Atau aku yang sempat berpikir kau mengingatkanku akan seseorang sehingga menerima kecupanmu tanpa paksaan?

“Ssht.. Sudahlah. Cukup. Tak apa. Seperti katamu. Kita hanya kesepian. Kau sedikit mabuk. Dan saat itu aku melihatmu seperti seseorang dari kisah lampau. Tak apa. Tak ada yang rusak. Percayalah..” ucapku akhirnya. Lega. Lega. Lega.

Popular Posts

 
Copyright © 2010 [reservoir], All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger