wadah fiksi, mimpi, dan imajinasi [saya dan mereka]. saat realitas, cukup menjemukan dan serba terbatas

Kota Dalam Kota

/ /
Mengenang Kota dalam kota :
Aroma lumut di dinding-dinding bangunan lama,
Rona abu di jalan-jalan tua,
Lampu-lampu yang beri terang kala malam dipajang,
Lumpur sungai besar yang tercampur benda-benda terbuang,
Dan kau..
Yang mengacak kata hingga membata

Kota..
Peti mimpi ku yang mengada-ada..

Bandung, 24.09.2006

----------------------------------------------------------

really love Kota Tua..

Sometimes I just go there by myself, walking around, watching people, buy a cup of coffee, and then wait for the dusk. Haven’t got time to do that again, lately.. Maybe I’ll go there this weekend. Wanna join?

KUMPULAN SENJA

/ /

Pemuja Senja

Muram senja yang kupuja
Berbagi rona di rupamu
Jangan umpat
Jangan gerutu kau pepat
Jika kau benci ia karena selintas lewat

Pejamkan saja pelupukmu
Hingga langit berganti pekat

Jatinangor, 20.04.2006
----------------------------------

Senja di Paras

Dan,
Langit masih berwelas asih
Menyisakan sedikit emas senja
Untukku,

Di parasmu

Jatinangor, 020706

----------------------------------

Muram Senja

Mungkin ada kisah yang perlu ditebas
Sebelum kidung baru terlantun bebas
Muram di senja, belum lepas....

Jatinangor, 23.03.2006

----------------------------------

tanpajudul

Ia bilang ia telah mengalami ribuan senja
Di tiap barat belahan bumi
Sebelum bulan merajai hari
"Tak ada yang seindah senja kali ini" ucapnya suatu waktu
Dengan mata tertuju parasku
Aku tersenyum, kecut
Tersembunyi aura berkabut
Itu dustanya yang keseribu kali
Lidahnya memang pandai menari
Tapi tidak saat senja hari itu memudar
Dan langit mulai menggantung lembayung
Ia tertunduk berkabung
Lalu mencium keningku lama-lama
Menghirup sisa senja yang masih terlekat di sana
Tak ada suara
Hanya sepi yang mengalun mesra
Malam pun datang dengan berjingkat
Menyaksikan aku dan ia saling memeluk tanpa sekat
Menangis bersama dalam raung yang tercekat
Menghujat senja yang telah mangkat

Jatinangor, 06.10.2005

----------------------------------

Nukleus

senja terbit, surya tenggelam
lelah ia, ingin rehat, persilahkan kelam
pun garis maya penebas langit-tanah
telah sesak kuning merah
aksara mengabur ulah temaram
titahkan lampu harus nyala

dalam nur elektrik malam jadi terang
namun pelupuk enggan mengatup
takut bayangmu menyeruak
rasuk
ke nukleus sukma,
menyusup
dan desir kembali meletup

jakarta, 28 april 2010

----------------------------------

sangat suka senja.. :)

Di Sini Kau Aman, Malaikat

/ /
Di sini kau aman, malaikat. Bebas berjabat tangan dengan dosa. Mengenal angkara. Mempelajari asa. Ssht,,jangan menangis. Sebentar lagi sayapmu habis ku kikis. Manusia memang rumit. Hanya melihat bulu-bulu putih nan halus milikmu saja mereka mengernyit. Pun dulu aku begitu. Ketika kau kali pertama hinggap di jendela. Ketika kau kali pertama tinggalkan surga.

Rehatlah sejenak, malaikat. Luka di punggungmu sebentar lagi mengering. Aku tak akan ke mana-mana. Lukaku masih menganga jua. Di hati, sebuah organ jiwa tak kasat mata. Kau menatapku tak mengerti. Ssht,,jangan bertanya. Pedih ini masih berjelaga. Tapi silahkan analisa. Inilah yang dinamakan air mata. Inilah hasil persetubuhan penat dan kecewa.

Di sini kau aman, malaikat. Kini. Entah nanti. Pasukan taman sejuta gembira belum mau menangkapmu, barangkali. Mungkin Tuhan ingin kau disini menemaniku. Mungkin Tuhan kirimkan dirimu untuk menjawab doaku, permohonan maafku. Atas repetisi ingkar, untuk ikrar-ikrar..Atau mungkin untuk tanyaku yang lain tentang kaki-kaki telanjang bocah-bocah kecil pengais sampah. Tentang ketidakadilan. Tentang kebebasan. Tentang apa saja..

Di sini kau aman, malaikat..

19.23 - 23.19

/ /
19.23
Asap putih itu sempat mengambang di udara. Bertahan sejenak antara mereka sebelum hilang terhempas angin. Dua teman lama. Berbeda kelamin. Tak terlalu karib. Cukup dekat. Sekedar cukup. Malam itu mereka bertatap muka. Berbicara. Tertawa. Semua biasa saja. Tak seperti dulu, bagi si perempuan. Dulu, semua lakon itu harta. Istimewa. Setiap detail membuat si perempuan bahagia. Meski semua euphoria disaluti ketidakjelasan ; sesuatu yang tak terselesaikan antara mereka.

20.33
Perempuan pemimpi itu menatap lekat rupa si laki-laki. Menerka-nerka apakah benar rasa itu telah tiada. Ia sedikit takut detak tak beraturan itu muncul lagi. Menyamar seolah-olah telah mangkat dari hati. Namun semuanya tenang. Telapak tangannya tak lagi terbalut dingin kalut. Tak ada lagi napas-napas panjang yang sengaja dihirup untuk mengatur desir asing yang dulu kerap bertandang. Perempuan itu tertunduk, bersyukur. Ternyata ia sanggup. Senyum tipis ia pasang saat kembali mengangkat kepala, memandang rupa lelaki sendu yang dulu kerap ia rindu.

20.33
Laki-laki itu ikut tersenyum. Ia duduk bersila di depan perempuan yang juga bersila. Mendengarkannya berceloteh tentang apa saja. Sesekali si laki-laki berdiri. Sesekali mondar-mandir, dengan mata tak lepas dari perempuan yang dulu pernah menawarkan rasa untuknya lewat canda ; yang buat dirinya tertunduk dalam ketidakmengertian.

23.19
Asap putih itu tak ada lagi. Pun rokok-rokok mereka telah habis terbakar. Terhisap, saja sisakan puntung-puntung. Dan mereka beranjak. Melangkah,,terpisah..

Nicholas Was..*

/ /



older than sin,
and his beard could grow no whiter.
He wanted to die.

The dwarfish natives of the Arctic caverns did not speak his language, but conversed in their own twittering tongue, conducted incomprehensible rituals, when they were not actually working in the factories.

Once every year they forced him,
sobbing and protesting,
into Endless Night.

During the journey he would stand near
every child in the world,
leave one of the dwarves' invinsible gifts by its bedside.
The children slept, frozen in time.

He envied Prometheus and Loki, Sisyphus and Judas.
His punishment was harsher.

Ho.
Ho.
Ho.





----------------------------------------------------------------

*taken from Neil Gaiman's 'Smoke and Mirrors'. Fakk lah orang ini. Twisted abis.. One of my favorite authors, ever!Haha...Bulan depan harus beli buku dia satu lagi :D

Kisah Singkat Tentang Kecupan Singkat

/ /
Kisah Singkat Tentang Kecupan Singkat

“Tak apa. Kita hanya kesepian,” ujarmu malam itu setelah kita melepas penat di ujung-ujung lidah kita. Tanganmu erat mendekap tubuhku. Terlalu erat. Awalnya pelukan itu laik terapi untuk tenangkan diriku. Namun desah nafasmu yang tak beraturan tampak seperti sesuatu yang rapuh dan takut rusak diterjang angin kencang yang berhembus membawa kesunyian. Ragaku tak ubahnya pancang yang sanggup buatmu bertahan. Berlembar foto masih menggantung. Baru usai dimandikan dalam cairan-cairan kimia yang timbulkan wujud-wujud. Bentuk-bentuk benda yang refleksinya dicuri kamera tuaku.

“Tak apa. Kita hanya kesepian,” katamu kemudian. Mengusap kepalaku. Berusaha menenangkan diriku yang terpekur tanpa kata. Lidahku serasa lupa bagaimana mengucap bahasa. Mungkinkah lidahmu telah curi semuanya kala berdansa dengan lidahku tadi? Sebuah kecupan ternyata sanggup suntikkan virus amnesia aksara. Kau menghisap udara dalam ruang temaram itu, lama dan panjang. Dadamu mengembang. Mengempis. Detak itu melambat. Tak lagi cepat. Tak lagi kalap.

“Tak apa. Kita hanya kesepian, “ ucapmu, lagi. Astaga! Repetisi yang membosankan! Aku lebih suka kau mengulangi keberanianmu menciumku, ketimbang membuatmu terlihat seperti radio yang memutar kaset rusak dengan kalimat itu!

“Ssht! Berhenti berbicara!” ujarku akhirnya. Lega. Terlebih setelah aku melepaskan diri dari rengkuhanmu. Kukayuh beberapa langkah menjauh dari sosokmu yang terlihat kebingungan. Kau menyandarkan punggung pada tembok di belakang tubuhmu. Mengambil nafas panjang dan memejamkan mata.

“Maaf. Aku sedikit mabuk sepertinya,” ucapmu berapologi. Aku terdiam. Enggan berkomentar. Enggan berpikir apakah aku seharusnya menyalahkan atau haturkan terima kasih pada minuman beralkohol yang kau reguk. Karena aku menikmati percumbuan singkat itu, entah untuk alasan apa. Mungkin juga aku sedikit mabuk. Hanya saja, tak sepertimu, tak setetespun minuman keras mengalir di kerongkonganku. Sebentuk memori tentang seseorang memrakarsai mabuk itu. Seseorang yang dulu sempat mengisi hatiku. Menjadikannya berbunga. Membuatnya melayang. Kemudian jatuh. Kemudian pecah. Kemudian seperti tempat pembuangan sampah.

“Maaf. Aku tak bermaksud kurang ajar,” kau berkata-kata lagi. Kepalamu menunduk. Kemudian kau mulai menggigit bibir sendiri. Cukup keras. Seperti hendak menghukumnya karena menyentuh bibirku beberapa menit yang lalu. Akupun ikut menggigit bibirku. Karena mempersilahkan bibirmu mencium bibirku.

“Maaf. Aku tak ingin pertemanan kita rusak, “ katamu. Aku masih bungkam. Bertanya-tanya dalam nurani tentang siapa yang sebenarnya patut dipersalahkan. Kau yang sedikit mabuk karena alkohol? Atau aku yang sempat berpikir kau mengingatkanku akan seseorang sehingga menerima kecupanmu tanpa paksaan?

“Ssht.. Sudahlah. Cukup. Tak apa. Seperti katamu. Kita hanya kesepian. Kau sedikit mabuk. Dan saat itu aku melihatmu seperti seseorang dari kisah lampau. Tak apa. Tak ada yang rusak. Percayalah..” ucapku akhirnya. Lega. Lega. Lega.

Popular Posts

 
Copyright © 2010 [reservoir], All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger