wadah fiksi, mimpi, dan imajinasi [saya dan mereka]. saat realitas, cukup menjemukan dan serba terbatas

Senja Untuk Langit

/ /
“Senja saja, sepotong, setiap hari,” jawab Langit sambil tersenyum dengan mata terus menatap cakrawala di belahan Barat.
“Too much SGA* , eh?” balas Libra.
Langit menoleh, tersenyum lalu mereguk kopi. Kemudian kembali menikmati senja.
Sebelumnya Libra bertanya perihal oleh-oleh. Ada penugasan ke Italia selama 3 bulan. Besok malam ia berangkat. Sore itu, sepulangnya dari kantor, ia mampir ke rumah Langit. Ia menuju atap, tempat Langit habiskan waktu menikmati secangkir minuman dan fenomena alam favorit; kopi dan senja.
“Kamu lihat senja hampir tiap hari, Ngit. Enggak bosan?” Libra kembali bertanya.
“Mau bawain enggak? Kalau enggak mau, ya enggak usah. Enggak apa-apa juga, kok,” jawab Langit, masih sambil tersenyum.
Libra menatap lekat wajah yang kini tertempa sinar emas dari ufuk Barat. Jauh di dalam hati ia tahu perempuan itu tidak akan pernah bosan dengan senja. “Penanda manusia harus rehat dari aktivitas. Pulang ke tempat nyaman berisi orang terkasih yang disebut rumah, menjadi tenang. Tapi bagi workaholic seperti kamu, sepertinya akan lebih mudah bilang, ‘karena senja indah’. Ya, lebih mudah begitu,” celoteh Langit suatu hari, ketika ditanya apa yang membuatnya jatuh hati saat Matahari perlahan tenggelam dan bersinar di sisi lain bumi.

Langit hampir menangis karena bahagia yang meluap. Itu ciuman pertamanya dengan Libra, setelah empat tahun menunggu. Menjadi pendengar setia petualangan jatuh cinta-patah hati-hubungan tanpa status-putus nyambung Libra dengan perempuan-perempuan lain. Ciuman itu lembut, hangat, di bawah naungan senja. Langit bisa merasakan gairah itu. Ia menarik Libra ke kamar tidurnya. Melucuti pakaiannya satu-persatu. Libra pun melakukan hal serupa. Persetubuhan itu nyaris terjadi andai saja ponsel Libra tidak berbunyi dan tak diacuhkan. Tujuh tahun lalu, mereka hampir bercinta. Tujuh tahun lalu, Libra mengurut-urut kening saat mendengarkan lawan bicaranya di telepon, lalu berpakaian dan pergi meninggalkan Langit secara tergesa. Dan esoknya, ia minta Langit tidak membahas tentang percumbuan mereka berdua. “Lebih baik bersahabat saja,” ucap Libra.
Dua bulan kemudian, Langit menatap nanar undangan pernikahan Libra. Lima bulan kemudian, anak Libra lahir. Dan senja sangat merah, seperti luka yang mengumbar darah.

Ada seratus foto senja di album itu. Dipotret dari hari pertama Libra menginjakkan kaki di Italia, sampai terakhir kali ia bermalam di sana. Semua untuk Langit. Perempuan yang begitu mencintai senja. Perempuan yang ia cintai jauh sebelum mereka bercumbu, tujuh tahun lalu. Sosok baik hati, anggun nan cerdas yang membuatnya kagum. Kagum yang membuatnya rendah diri dan menahan semua rasa.
“Thanks..Oleh-olehnya bagus..” ucap Langit usai membalik halaman terakhir. Ada bulir bening di sudut kedua matanya. Ia mengerjap. Tetes pertama jatuh. Merah-kuning di langit sudah hilang. Giliran lembayung yang terbentang, warnanya seperti ruam.

Paket itu baru saja Libra terima. Berisi sepucuk surat dan sebuah album foto. Dari Langit. Dadanya berdebar kencang. Ia baca baris aksara pada selembar kertas itu.

Dear Libra,
Aku pergi. Maaf pamit dengan cara seperti ini. Maaf juga aku baru cerita bahwa promosi dari kantor membuatku meninggalkan negeri ini, entah sampai kapan. Jangan mencoba menghubungiku, tolong. Lebih mudah menghilangkan sakit ini jika kita tidak berkomunikasi. Lebih mudah untukku jika percaya kamu tidak lagi peduli. Kamu tahu yang aku maksud. Tatap potongan senja-senja itu lamat-lamat. Kamu akan benar-benar tahu kenapa aku begitu menyukai masa sebelum langit berganti pekat. Ada teduh di hening itu. Seperti ketika aku bersamamu. Terdiam tanpa kata. Nyaman yang menjalar. Tapi kamu selalu muncul sesaat. Seperti senja. Indah keemasan, lalu merah, lalu lembayung. Kemudian hitam. Lalu aku akan sendirian menunggu dalam kelam. Sampai esok hari ketika aku menunggu untuk menyaksikan repetisi yang sudah bisa ku prediksi. Karena seperti senja. Ketika kamu hilang, kamu menjelma fajar yang menyingsing di tanah yang lain. Di rumahmu, untuk istrimu, juga anakmu. Ini untukmu Libra. Potret dirimu dalam persepsiku yang kamu rekam sendiri. Tiap potongan senja sudah kuingat. Senja yang tidak bisa ku miliki. Karena senja itu kamu.

Langit

Senja sudah lewat, begitu juga lembayung. Kini, langit kelam. Sesal pun rembes bersama isak, lalui celah antara jari-jari Libra yang menutupi wajah.



- Jakarta, Oktober 2010-
---------------------------------------------

*Seno Gumira Ajidarma. Penulis yang sering menorehkan senja di tulisan-tulisannya. Seorang teman baik pernah berkata mungkin saya menyukai senja karena diulas oleh SGA, salah satu penulis favorit saya. Menurut saya justru sebaliknya. Saya menyukai SGA karena ia juga mengulas senja – selain karena tulisannya yang brilian, tentu.

Popular Posts

 
Copyright © 2010 [reservoir], All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger