wadah fiksi, mimpi, dan imajinasi [saya dan mereka]. saat realitas, cukup menjemukan dan serba terbatas

Kisah Singkat Tentang Kecupan Singkat

/ /
Kisah Singkat Tentang Kecupan Singkat

“Tak apa. Kita hanya kesepian,” ujarmu malam itu setelah kita melepas penat di ujung-ujung lidah kita. Tanganmu erat mendekap tubuhku. Terlalu erat. Awalnya pelukan itu laik terapi untuk tenangkan diriku. Namun desah nafasmu yang tak beraturan tampak seperti sesuatu yang rapuh dan takut rusak diterjang angin kencang yang berhembus membawa kesunyian. Ragaku tak ubahnya pancang yang sanggup buatmu bertahan. Berlembar foto masih menggantung. Baru usai dimandikan dalam cairan-cairan kimia yang timbulkan wujud-wujud. Bentuk-bentuk benda yang refleksinya dicuri kamera tuaku.

“Tak apa. Kita hanya kesepian,” katamu kemudian. Mengusap kepalaku. Berusaha menenangkan diriku yang terpekur tanpa kata. Lidahku serasa lupa bagaimana mengucap bahasa. Mungkinkah lidahmu telah curi semuanya kala berdansa dengan lidahku tadi? Sebuah kecupan ternyata sanggup suntikkan virus amnesia aksara. Kau menghisap udara dalam ruang temaram itu, lama dan panjang. Dadamu mengembang. Mengempis. Detak itu melambat. Tak lagi cepat. Tak lagi kalap.

“Tak apa. Kita hanya kesepian, “ ucapmu, lagi. Astaga! Repetisi yang membosankan! Aku lebih suka kau mengulangi keberanianmu menciumku, ketimbang membuatmu terlihat seperti radio yang memutar kaset rusak dengan kalimat itu!

“Ssht! Berhenti berbicara!” ujarku akhirnya. Lega. Terlebih setelah aku melepaskan diri dari rengkuhanmu. Kukayuh beberapa langkah menjauh dari sosokmu yang terlihat kebingungan. Kau menyandarkan punggung pada tembok di belakang tubuhmu. Mengambil nafas panjang dan memejamkan mata.

“Maaf. Aku sedikit mabuk sepertinya,” ucapmu berapologi. Aku terdiam. Enggan berkomentar. Enggan berpikir apakah aku seharusnya menyalahkan atau haturkan terima kasih pada minuman beralkohol yang kau reguk. Karena aku menikmati percumbuan singkat itu, entah untuk alasan apa. Mungkin juga aku sedikit mabuk. Hanya saja, tak sepertimu, tak setetespun minuman keras mengalir di kerongkonganku. Sebentuk memori tentang seseorang memrakarsai mabuk itu. Seseorang yang dulu sempat mengisi hatiku. Menjadikannya berbunga. Membuatnya melayang. Kemudian jatuh. Kemudian pecah. Kemudian seperti tempat pembuangan sampah.

“Maaf. Aku tak bermaksud kurang ajar,” kau berkata-kata lagi. Kepalamu menunduk. Kemudian kau mulai menggigit bibir sendiri. Cukup keras. Seperti hendak menghukumnya karena menyentuh bibirku beberapa menit yang lalu. Akupun ikut menggigit bibirku. Karena mempersilahkan bibirmu mencium bibirku.

“Maaf. Aku tak ingin pertemanan kita rusak, “ katamu. Aku masih bungkam. Bertanya-tanya dalam nurani tentang siapa yang sebenarnya patut dipersalahkan. Kau yang sedikit mabuk karena alkohol? Atau aku yang sempat berpikir kau mengingatkanku akan seseorang sehingga menerima kecupanmu tanpa paksaan?

“Ssht.. Sudahlah. Cukup. Tak apa. Seperti katamu. Kita hanya kesepian. Kau sedikit mabuk. Dan saat itu aku melihatmu seperti seseorang dari kisah lampau. Tak apa. Tak ada yang rusak. Percayalah..” ucapku akhirnya. Lega. Lega. Lega.

0 comments:

Popular Posts

 
Copyright © 2010 [reservoir], All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger